Wanita Haid Bolehkah Masuk Masjid?
Oase.id - Masjid adalah rumah Allah yang harus dijaga kesuciannya. Terkait hal ini timbul pertanyaan apa hukumnya wanita yang sedang haid masuk ke masjid. Sebab, jika dalam kondisi demikian, seorang wanita pun tidak boleh memegang musaf Alquran, puasa atau salat. Apakah artinya bila haid, seorang wanita juga tidak boleh memasuki masjid yang suci tersebut?
Ada beberapa hadits yang menjadi rujukan mengenai hukum wanita yang sedang haid untuk masuk ke dalam masjid. Para ulama memiliki pandangan yang beragam berdasarkan interpretasi mereka terhadap Al-Qur'an dan hadits yang terkait.
Berikut ini adalah penjelasan tentang pandangan tersebut, yang mencakup argumen-argumen yang mendukung dan menentang diperbolehkannya wanita yang sedang haid untuk memasuki masjid.
Dasar Hukum Al-Qur’an
Al-Qur'an tidak secara eksplisit melarang wanita haid memasuki masjid. Namun, terdapat ayat yang menyebutkan keadaan haid dalam konteks tertentu:
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: 'Itu adalah sesuatu yang kotor.' Karena itu, jauhilah wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci." (QS. Al-Baqarah: 222)
Ayat ini lebih berfokus pada larangan hubungan suami-istri selama haid daripada larangan masuk ke tempat ibadah.
Hadits yang Sering Dijadikan Dasar
Ada beberapa hadits yang menjadi rujukan para ulama dalam isu ini, namun dengan pemahaman yang berbeda-beda:
Hadits tentang Perintah Nabi kepada Aisyah untuk Mengambil Sajadah: Dalam hadits riwayat Muslim, dikisahkan bahwa Nabi Muhammad memerintahkan Aisyah yang sedang haid untuk mengambil sajadah di masjid. Aisyah menjawab, “Saya sedang haid.” Nabi menjawab, “Sesungguhnya haidmu itu tidak di tanganmu.” (HR. Muslim).
Sebagian ulama memahami ini sebagai isyarat bahwa haid bukanlah penghalang bagi seorang wanita untuk memasuki masjid atau mengambil barang dari masjid.
Pandangan Ulama
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum ini:
Pandangan yang Melarang: Sebagian besar ulama dari madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi'i melarang wanita yang sedang haid untuk memasuki masjid, kecuali jika ada kebutuhan mendesak, seperti sekadar lewat atau mengambil barang.
Mereka berargumen bahwa hadits-hadits tertentu mengisyaratkan larangan, dan wanita haid dianggap dalam kondisi "tidak suci" yang tidak sesuai untuk berada di tempat yang dianggap suci.
Pandangan yang Membolehkan: Madzhab Hanbali dan beberapa ulama kontemporer berpendapat bahwa wanita haid boleh memasuki masjid selama tidak menyebabkan najis pada tempat tersebut dan tidak melakukan ritual seperti shalat. Mereka berdalih bahwa hadits-hadits yang menyatakan larangan dianggap lemah (dha’if), dan berpegang pada riwayat Aisyah yang diizinkan mengambil barang dari masjid saat haid.
Syarat-Syarat Bagi yang Membolehkan
Bagi yang membolehkan, biasanya ada syarat tertentu agar tetap menjaga kesucian masjid. Beberapa syarat tersebut meliputi:
Tidak melakukan ibadah shalat, tawaf, atau kegiatan yang mengharuskan kondisi suci.
Memastikan bahwa tidak ada darah haid yang mengotori tempat shalat.
Ustaz Sofyan Chalid Ruray dalam sebuah forum tanya jawab mengatakan memang ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya seorang wanita yang sedang haid masuk ke dalam masjid.
"Pendapat yang paling hati-hati insha Allah, jangan masuk ke masjid kecuali memang ada kebutuhan. Untuk talim insha Allah dibolehkan karena memang tidak ada dalil yang tegas melarang wanita hiad datang ke masjid," ujar Ustaz Sofyan.
"Yang terlarang tentu kalau dia sampai tidak berhati-hati sehingga darah haidnya tercecer di masjid."
"Wanita haid masuk ke masjid tidak mengapa kalau ada keperluan, tapi kalau tidak ada keperluan apa-apa misal ingin bertemu teman yang bisa dilakukan di luar masjid, maka sepatutnya dihindari (masuk ke masjid) untuk berhati-hati, wallahu a'lam," tutupnya.
Dari berbagai pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada kelonggaran dan perbedaan dalam hukum ini. Jika seorang wanita perlu memasuki masjid untuk alasan tertentu (misalnya, menghadiri ceramah atau pengajian) dan dapat menjaga kesucian masjid, maka sebagian ulama membolehkan hal tersebut dengan mempertimbangkan kemaslahatan dan kebutuhan.
Namun, penting bagi seorang muslim untuk mengikuti panduan yang dianut di lingkungan atau komunitasnya, serta memahami tujuan syariat dalam menjaga kesucian tempat ibadah.
(ACF)