25 April 1946: KH Mas Mansur Wafat
Oase.id- Jelang setahun peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI, rakyat Indonesia, khususnya warga Muhammadiyah dilanda kabar duka. KH Mas Mansur, mantan Ketua Umum Pengurus Besar (kini Pimpinan Pusat) Muhammadiyah, ulama, sekaligus pejuang kemerdekaan itu dikabarkan meninggal dunia pada 25 April 1946, di usia yang ke 49 tahun.
Ketika pecah perang kemerdekaan, KH Mas Mansur masih dalam keadaan sakit. Akan tetapi, sosok kelahiran Surabaya, 25 Juni 1896 ini tetap memaksa untuk turut berjuang dan memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk melawan kedatangan tentara Belanda (NICA).
Akibat aksinya, KH Mas Mansur ditangkap dan dipenjarakan di Kalisosok. Beberapa waktu kemudian, beredar kabar tokoh yang turut membidani pembentukan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) ini wafat di tahanan.
Keulamaan Mas Mansur
Irfan Nurudin dalam Tokoh dan Pemikiran Pimpinan Tarjih (2017) menuliskan, kealiman KH Mas Mansur lahir dari tempaan kedua orang tuanya, kemudian berkembang ketika menimba ilmu di Pesantren Sidoresmi.
"Hingga pada tahun 1906, ketika Mas Mansur berusia sepuluh tahun, ia dikirim ayahnya ke Pondok Pesantren Demangan, Bangkalan, Madura. Disana, Mas Mansur kecil mengkaji Al-Qur’an dan mendalami kitab Alfiyah ibnu Malik kepada Kiai Kholil," tulis Irfan.
Masa kanak-kanak Mas Mansur sudah dikenal sebagai sosok yang gemar membaca dan mendengarkan nasihat. Bahkan, mengutip Suara Muhammadiyah (2017), bakat kepemimpinan Mas Mansur saat itu sudah terlihat dan terasah.
"Ketika masih kanak-kanak, ia senang bermain sekolah-sekolahan dan seakan menjadi guru. Ia kumpulkan sejumlah bantal dan ditata secara teratur. Bantal-bantal itu diibaratkan para murid. Sedangkan dirinya seolah sebagai seorang guru."
Sepulang dari Pesantren Demangan pada 1908, Mas Mansur menunaikan ibadah haji sekaligus mendalami keilmuan agama kepada Syekh Mahfudz At-Tarmasi di Tanah Suci, Mekah. Empat tahun kemudian, Mas Mansur pindah ke Al-Azhar, Mesir.
Selama menggali pengetahuan di Mekah dan Mesir, KH Mas Mansur terus mengasah kemampuannya dalam berpikir dan menulis. Ia gencar menulis di berbagai media massa, serta menulis beberapa buku keagamaan antaral lain Hadits Nabawijah; Sjarat Sjahnja Nikah; Risalah Tauhid dan Sjirik; serta Adab Al-Bahts wa Al-Munadlarah.
Baca: 23 Februari 1923: KH Ahmad Dahlan Wafat
Bukti sejarah persahabatan NU-Muhammadiyah
Darul Aqsha dalam K.H Mas Mansur (1896-1946): Perjuangan dan Pemikiran (2005) menuliskan, pada masanya, KH Mas Mansur dikenal sebagai ulama reformis-modernis.
KH Mas Mansur tidak saja aktif dalam dunia pergerakan keagamaan, tetapi juga memiliki peranan yang berarti, baik pada masa pergerakan kebangsaan, pendudukan Jepang, maupun pada masa perang kemerdekaan Indonesia.
"Perjuangan Mas Mansur dapat dibagi dalam tiga bidang, yaitu pergerakan keagamaan, pergerakan kebangsaan, serta perang kemerdekaan," tulis Aqsha.
Aktivitas KH Mas Mansur dalam pergerakan keagamaan diawali dengan membentuk kelompok diskusi Taswirul Afkar pada 1916 di Surabaya bersama beberapa kiai muda, seperti KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Ahmad Dahlan Ahyat.
Di sinilah keunikan KH Mas Mansur. Meskipun ia cenderung dekat dengan kelompok Islam Tradisional, termasuk pernah berguru kepada pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratussyeikh KH Hasyim Asy'ari, namun puncak keemasan KH Mas Mansur justru muncul ketika mengabdi di bawah kibaran bendera Muhammadiyah.
Tak main-main, Imron Mustofa dalam KH. Ahmad Dahlan si Penyantun (2018) menceritakan, persinggungan KH Mas Mansyur dengan Muhammadiyah justru diajak langsung oleh pendirinya, yakni KH Ahmad Dahlan.
"Suatu hari KH Ahmad Dahlan mengadakan pengajian di Surabaya. Pengajian tersebut berlangsung sampai larut malam sehingga KH Ahmad Dahlan mencari hotel untuk menginap. Hal ini didengar tokoh agama setempat, yakni KH Mas Mansur," tulis Imron.
Mendengar kedatangan tokoh besar yang membutuhkan tempat singgah, KH Mas Mansur segera menjemput dan mempersilakan Kiai Ahmad Dahlan untuk beristirahat dan menginap di kediamannya.
KH Ahmad Dahlan menyambut baik. Sebab, sudah mafhum bahwa sosok yang menawarinya singgah adalah santri andalan sahabat karibnya ketika di Semarang maupun Mekah.
"Bagaimana kabar Kiai Hasyim Asy'ari? Beliau sehat," tanya Kiai Ahmad Dahlan ke KH Mas Mansur.
Baca: Kala Kiai Ahmad Dahlan Menanyakan Kabar KH Hasyim Asy'ari
Atas dasar kekaguman terhadap sahabatnya itulah, Kiai Ahmad Dahlan akhirnya percaya dan meminta agar KH Mas Mansur mau memimpin Muhammadiyah Cabang Surabaya yang baru diresmikannya.
Tak perlu waktu lama, keesokan harinya, KH Mas Mansur memberikan jawaban bersedia. Tekad yang dimulai pada tahun 1921 terus mengantarnya hingga menjadi tokoh nasional berpengaruh dari kalangan Muhammadiyah.
(SBH)