Ulama Iran Akan Menggunakan AI Untuk Membantu Kegiatan Keagamaan
Oase.id - Para ulama Iran menggunakan kecerdasan buatan untuk membantu penyebaran ajaran agama, beberapa bulan setelah Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei mendeklarasikannya sebagai hal yang bersifat “setan” namun kemudian berubah drastis.
Inisiatif ini datang dari kota suci Qom, sebuah pusat pembelajaran Islam dan ziarah yang merupakan rumah bagi setengah dari 200.000 ulama Syiah di Iran, Financial Times melaporkan pada hari Minggu.
Dorongan untuk mengadopsi AI mendapat dukungan dari kalangan atas, dengan Khamenei kini mendesak para ulama untuk mengeksplorasi teknologi tersebut, dan kepala seminari Qom menyambut baik penggunaannya untuk “mempromosikan peradaban Islam.”
Namun, langkah pemerintah baru-baru ini untuk mengeksplorasi penggunaan AI di seminari keagamaan sangat kontras dengan posisi sebelumnya.
Pada bulan April, dalam serangan pertama terhadap entitas non-manusia, Khamenei mengeluarkan fatwa yang menentang AI, dan menyebutnya sebagai “setan.”
Para pemimpin agama berpendapat bahwa masyarakat di negara tersebut menuntut agar masyarakat dimodernisasi, dan AI adalah cara untuk menanggapi seruan tersebut sambil tetap berpegang pada nilai-nilai tradisional.
Mereka berharap bahwa teknologi canggih dapat membantu mereka menyebarkan teks-teks Islam dengan lebih cepat dan memungkinkan keputusan agama, yang dikenal sebagai fatwa, dapat mengimbangi perkembangan masyarakat Iran yang pesat.
“Robot tidak bisa menggantikan ulama senior, tapi mereka bisa menjadi asisten tepercaya yang bisa membantu mereka mengeluarkan fatwa dalam lima jam, bukan 50 hari,” kata Mohammad Ghotbi, kepala Rumah Kreativitas dan Inovasi Eshragh di Qom.
“Masyarakat saat ini lebih menyukai percepatan dan kemajuan,” kata Ghotbi, seraya menambahkan bahwa lembaga keagamaan tidak boleh menentang keinginan masyarakat Iran untuk ikut serta dalam kemajuan teknologi global.
Namun, mereka yang skeptis menyoroti bagaimana penerapan AI dapat menjadi tantangan bagi sistem hukum Islam yang rumit.
Beberapa orang menyatakan keprihatinannya bahwa AI tidak dapat memahami kompleksitas aturan agama atau nilai-nilai yang disampaikan melalui metode pembelajaran tradisional.
Terlepas dari tantangan-tantangan ini, Ghotbi berpendapat bahwa inisiatif di Qom adalah tanda bahwa lembaga keagamaan Iran bersedia menggunakan teknologi baru agar tetap relevan di dunia modern.
Ia berargumentasi bahwa meskipun alat-alat tersebut mengubah tujuan mereka, namun ia tetap menegaskan bahwa AI tidak serta merta membuat Iran menjadi lebih selaras dengan pandangan sekuler Barat.
“Kami berupaya melokalisasi penggunaan teknologi karena nilai-nilai budaya kami berbeda,” katanya.(arabnews)
(ACF)